Copyright © the world of me..
Design by Dzignine
Sabtu, 23 Oktober 2021

Sempitnya Makna Adab dari Persepsi Masyarakat

oleh Nismaryam

Dasar kehancuran adalah karena hilangnya adab. Perlunya mengerti dasar istilah yang digunakan agar tak secara sporadis mendefinisikan sesuatu, adalah bagian dari menjaga adab. Menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya, menjadikan hal tersebut tidak beradab. Dilihat dari kacamata media, banyak sekali hal yang berkembang dari pergeseran makna yang kemudian dilanjutkan kekeliruannya dalam banyak hal, karena dasar yang digunakan rapuh. 

Media sosial makin beragam, pun kegemaran masyarakat akan dunia konten dan olahannya semakin tinggi, seperti bentuk podcast, video youtube, tiktok dan lainnya. Namun, ketika dasar konten tersebut hanya dari preferensi pribadi dan opini, banyak orang mengacu padanya dan belum dibarengi kesadaran untuk menambah kapasitas ilmu dan dasar kontennya, bisajadi petaka untuk masyarakatnya. Fenomena sekarang ini adalah ketika berbicara di luar kapasitasnya, Berdakwah tanpa mengetahui bagaimana caranya dan asal menggunakan suatu teori tanpa memahami aplikasi yang tepat dengannya.

Menjunjung tinggi Cinta, jika sikap aniaya atau khianat tetap diberi kasih sayang hingga tak sadar itu merupakan hal yang salah, karena jika mengucapkannya akan melukai hati orang yang dituju. Akan menjadi Cinta yang keliru, jika kemudian mengecilkan hakikat kebenaran yang sedang diperjuangkan, walau memang, mengungkapkan Cinta yang baik adalah dengan kasih dan kelembutan. 

Adab tak sekedar sopan santun yang menjadikan mencegah kemungkaran itu jadi hal tidak beradab. Adab adalah bagaimana berlaku sesuatu tempatnya, sesuai kebenaran. Dan hasil dari adab adalah akhlak, adil. Menyamakan semua orang, tanpa melihat orang tersebut benar atau salah adalah sebuah kebiadaban. Karena dengan hal itu, ia menyamakan kebenaran dan kesalahan. Pembiaran kesalahan adalah salah satu bentuk kebiadaban yang mana sekarang ini, terjadi pergeseran makna. Hal ini berimbas pada tindakan yang dilakukan tak lagi berdasar atas benar dan salah tapi bergeser pada suka/mau dan tidak. Berbagai kondisi yang terlihat ini, jadi simpul-simpul hambatan yang perlu diurai oleh pengemban ilmu nan beradab. Agar terus mendayagunakan dan terpacu untuk berbaur dengan masyarakat kebanyakan, membawa risalah ilmu yang membahagiakan akal-akal masyarakat.
Jumat, 22 Oktober 2021

Cerminan Da’i

oleh Nismaryam

Pembelajaran terakhir Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Jakarta angkatan 11, di Rabu malam, 8 September 2021. Bahasan yang diangkat tentang “Serba-serbi Dakwah” oleh Kepala Sekolah SPI Pusat, Akmal. Pembelajaran SPI seluruhnya dilaksanakan secara daring melalui ruang pembelajaran virtual, diisi penyampaian materi serta tanya jawab dan pengumuman lainnya yang dipandu oleh Kepala Sekolah SPI Jakarta, Chandra. 

Permasalahan umat Islam kontemporer menurut SMN Al Attas sebab 3 hal, yaitu corruption of knowledge, loss of adab dan false leader. False Leader yang dimaksud di sini adalah da’i. Tugas utama manusia di muka bumi ini adalah untuk ibadah pada Allah SWT, dan termasuk tugas seorang muslim untuk dakwah (menjadi da’i), menyampaikan risalah Islam pada umat manusia, menunjukkan pada cahaya dari kegelapan. Jika dunia dalam kegelapan, maka umat muslim yang patut bertanggungjawab atas hal itu, karena pencerahan tak lagi nampak, akibat tampuk kepemimpinan lepas darinya, salah satunya dari ketidaklayakan memimpin. Karena ketidaklayakan tersebut bukan hanya muslim yang rugi, tapi dunia juga ikut rugi karena tidak tercerahkan olehnya. 

Setiap muslim adalah da’i sebelum segala sesuatu, maka kapasitas da’i ini jadi perhatian penting untuk menjalani kehidupan. Kandidat doktor Sejarah UI ini menjelaskan tentang pengaruh da’i terhadap dakwah dari aspek tujuan sang da’i, konten dakwah yang disampaikan dan kondisi mad’u (objek dakwah) yang dihasilkan. Ada 5 karakteristik da’i yang disampaikan dengan, 5 konten dan menghasilkan 5 mad’u yang berbeda. Karakter da’i tersebut adalah da’i yang tidak ikhlas, menjadikan keramaian sebagai ukuran kesuksesan, membesarkan diri sendiri, tidak menambah ilmu dan berebut mad’u. Kesemuanya ini ditemukan di dunia dakwah masa kini. 

Kondisi dan fenomena masyarakat muslim, ternyata sangat bergantung pada konten dakwah dan tujuan da’i itu sendiri. Akmal menyampaikan hierarki pengaruh untuk membentuk masyarakat dengan da’i sebagai puncaknya, masyarakat dipengaruhi pemimpin, pemimpin dipengaruhi da’i. Menjadikan karakteristik masyarakat yang mungkin tak pernah ditemui dahulu, solusi untuk penyelesaiannya adalah dengan mengecek bagaimana kondisi da’inya. 

Da’i mempunyai posisi di atas pemimpin, karena da’i lebih mengetahui hal yang baik dan benar dari sumber dari segala sumber, yaitu Al Qur’an dan Sunnah. Jika da’i yang mengetahui hal yang benar, sedang kebijakan pemimpin kurang benar, maka kewajiban da’i untuk meluruskan pemahaman tersebut, bukan justru diam atau menurut pada pemimpin. Menjadi da’i adalah profesi utama setiap muslim, menjadikan materi ini sebagai refleksi. Allah mengingatkan dengan QS Asy Syura ayat 30 tentang musibah yang menimpa, disebabkan oleh perbuatan tangan sendiri, dan Allah memaafkan banyak dari kesalahan-kesalahan. Masalah umat sekarang ini hanya sebagian kecil dari kesalahan-kesalahan yang diperbuat, dan cerminan akan kondisi masalah da’inya, bahwa kondisi muslim sekarang tidak sedang baik-baik saja, ucap penulis Islam Liberal 101 menutup materi perkuliahan.
Kamis, 21 Oktober 2021

Kejayaan Bersebab Ilmu, yang Akan Berulang Dengan Ilmu

oleh Nismaryam

Pembelajaran ke-19 Sekolah Pemikiran Islam Jakarta angkatan 11 membahas tentang “Musim Semi Kejayaan Islam”. Ruang maya, kelas tempat dilangsungkannya pembelajaran pada Rabu, 2 September 2021 memulai materi pada pukul 7 malam, dengan pemateri Akmal, Kepala Sekolah Pemikiran Islam Pusat. 

Penyampaian materi dilengkapi dengan tampilan presentasi serta tanya jawab dengan siswa SPI. Abad ke 5-15 Masehi adalah zaman pertengahan yang disebut dalam banyak buku sejarah sebagai The Dark Age. Akmal menjelaskan, frasa yang lebih tepat adalah The Dark Age of Europe, dimana kemunduran dialami pada belahan dunia Eropa bukan seluruh dunia, bersebab runtuhnya kerajaan Romawi Barat. Masa dimana terjadi wabah yang membuat hampir 1/3 Eropa meninggal ini membuat peradaban Eropa terasa gelap karena dari runtuhnya kerajaan Romawi menyebabkan vacuum of power di bagian-bagian negara, dan banyak masyarakat yang kabur ke hutan dengan gaya hidup menurun serta wabah the black deatch yang tak bisa diatasi. 

Pada masa yang sama, Peradaban Islam sedang berjaya dan menjadi soko guru sains dan teknologi dunia, di Qurthubah dan Baghdad. Peradaban Islam bermula dari daerah Hijaz Arab, tanah gersang dikelilingi negara adidaya yang terasing, tidak diminati untuk dijajah oleh negara sekitarnya karena kondisi tersebut. Namun demikian, masyarakat Hijaz yang kesehariannya berdagang dan mengenal dunia luar, tetap bangga dengan identitas mereka karena adanya Baitullah di tengah-tengah mereka.

Setelah diutus Nabi Muhammad dengan wahyu Al Qur’an yang menjadi sumber ilmu, menjadikan tanah gersang tersebut diisi oleh masyarakat yang cinta ilmu karena didukung oleh perintah agama dan tidak berkonflik dengan sains, berbeda dari agama lainnya dengan permasalahan tersebut. Islam dari Hijaz kemudian menyebar ke wilayah sekitarnya dan berkembang mempengaruhi dunia dengan kontribusi Ilmu seperti sistem irigasi yang diorganisasi dengan baik meski di gurun, Universitas pertama di dunia oleh muslimah, Fatimah Al Fihri, Astronomi terpisah dari takhayul dan sumbangsih lain dalam bidang sains dan kebudayaan. 

 “Karena akidahlah, akal menjadi rasional” ujar kandidat Doktor Sejarah, Universitas Indonesia ini. Islam memotivasi umatnya untuk berilmu, karena segala hal di muka bumi ini adalah tanda kekuasaan Tuhan, semakin mempelajarinya, semakin mengenal kuasaNya, yang menurut Imam Al Ghazali, manusia bahagia jika mengenal Tuhan. 

Berdalil memang bukan dengan akal, dalil merujuk pada Qur’an dan Sunnah, tapi untuk memahaminya pun manusia mencerna dengan akal, pesan pemateri atas misleading yang banyak beredar di masyarakat. Untuk menjadi manusia dengan akal sehat, perlu dipahami cara yang berfikir yang benar, yaitu mendayagunakan upaya manusia dan materi untuk tercapainya pemikiran, atau pendidikan, bukan memusatkan tujuan pada manusia maupun materi. 

Parameter kemajuan peradaban Islam adalah Ilmu, seperti kemenangan Shalahuddin Al Ayyubi dan Nuruddin Zanki atas Palestina, karena menegakkan tauhid yang benar dengan mengirimkan ulama untuk mengajarkan masyarakat Syiah dinasti Fatimiyyah pada jalan yang benar. Kejayaan Islam bersebab ilmu yang Allah turunkan melalui Nabi Muhammad dan wahyu Al Qur’an, dan akan kembali dengan sebab yang sama, salah satunya dengan jalan Islamisasi ilmu pengetahuan. Tiga tahap yaitu tahap penerjemahan, akuisisi dan adopsi dari pengetahuan yang sudah “jadi” dan disaring dengan nilai-nilai Qur’ani untuk diterapkan oleh muslim. 

Sejarah adalah siklus, dan musim semi Kemenangan Islam akan terulang, seperti janji Allah dan itu adalah suatu kepastian. Poinnya adalah dimana posisi setiap muslim pada kemenangan tersebut? Adakah kontribusi atau merintangi? tutup peneliti INSISTS dan penulis buku “Islam Liberal 101”.
Rabu, 20 Oktober 2021

Berfilsafat Untuk Menjadi Manusia

oleh : Nismaryam
 
Filsafat menjadi tema dari kelas ke 17 dari Sekolah Pemikiran Islam Jakarta angkatan 11. Pertemuan daring yang dilaksanakan pada Rabu, 18 Agustus 2021 dipandu oleh Syamsuddin Arief, peneliti senior INSISTS. Filsafat, tema pertemuan yang mendalami bagaimana kebenaran dipikirkan dan direnungkan.

Pembahasan diawali dengan penyampaian fakta-fakta bahwa tingkat doctoral di luar negeri seperti Malaysia serta wilayah Eropa memberi gelar pada lulusannya dengan Doctor of Philosophy, yang mana filsafat ini mempunyai kedudukan tersendiri dalam kehidupan manusia. Filsafat adalah kata serapan dari bahasa Arab Falsafah, dan berasal dari bahasa Yunani Philosophia. Philosophia terbentuk dari kata philein (cinta) dan sophia (kearifan) yang berarti mencintai ilmu. Adapun makna-makna Filsafat yaitu punya rasa ingin tahu yang besar, mempertanyakan segala sesuatu dan memikirkan ulang. 

Tokoh Yunani Aristoteles dan Kristen Thomas Aquinas menjadi rujukan dalam bab Filsafat ini, bahwa filsafat adalah pencarian kebenaran manusia. Sedang menurut tokoh Islam, Ibnu Sina mempunyai pandangan bahwa manusia tetap menjadi manusia ketika dia berilmu, dalam bukunya “Metaphysis” bahwa filsafat adalah mencapai kebenaran dan melaksanakan kebenaran. Kebenaran sudah ada, yang harus dilakukan adalah untuk diamalkan. Ada 3 tahap filsafat, menurut Ibnu Sina, bermula dari mencintai ilmu, lalu mengetahui kebenaran tentang secara sesuatu dengan kebenaran rasional dan sebagai puncak filsafat yaitu berkata dan berbuat sesuai kebenaran yang diketahuinya. Sementara menurut Ath Thahanawi, filsafat adalah berusaha meniru Tuhan melalui tindak-tanduknya, jika Tuhan Maha Penyayang maka manusia meneladani dengan berkasih sayang. 

Mulanya, Filsafat adalah Ilmu, namun karena adanya the Vienna Circle di tahun 1920, filsafat dipisahkan dengan ilmu dan mereduksi filsafat menjadi berfikir spekulatif, analitis dan kritis juga muncul cabang ilmu Filsafat Sains, Filsafat Teknologi dan sebagainya. Filsafat dalam Islam, disandarkan pada nash Al Qur’an yang berulangkali disebutkan dengan kalimat “bagi orang berakal, bagi orang berpikir”.

Ada 3 istilah dari nash tersebut yaitu Al Falsafah, Al Hikmah, Ulum Al Awa’il. Filsafat berasal dari istilah pertama yaitu Al Falsafah. Filsafat Islam, tidak seperti yang dituduhkan orientalis bahwa hal itu tidak nyata, karena meniru Yunani. Menurut Oliever Leamean, Filsafat Islam adalah suatu tradisi pemikiran baru untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dan juga masalah-masalah konseptual dengan bahasa Islam (bukan hanya Arab, tapi juga bahasa Parsi juga Melayu) yang dilakukan dalam konsep budaya Islam. Kampus dunia seperti Cambridge juga mempunyai program Filsafat Islam dengan nama Al Falasifatul Arab. 

 Berfilsafat dalam hukum Islam, ulama membaginya dalam 3 kategori, yaitu mutlak boleh, mutlak haram dan haram dengan syarat. Ibnu As Shalah adalah ulama yang berfatwa mutlak haram berfilsafat dengan pernyataannya “Filsafat adalah pangkal kebodohan dan penyimpangan, kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan Syari’ah”. Sedang Imam Ghazali adalah ulama yang condong pada filsafat haram bersyarat, karena ada bagian dari filsafat yang berimplikasi kufur. Imam Ghazali membagi filsafat menjadi 6 kategori yaitu yang tercela (haram), yang tidak tercela (mubah), yang bisa membuat orang jadi kafir (haram), yang tidak menyebabkan kufur (mubah), yang dapat menjadikan pelakunya ahli bid’ah (haram) dan yang tidak menjadikannya demikian – red: ahli bid’ah (mubah). Berfiilsafat dilarang karena banyak dampak buruknya, kecuali untuk 2 jenis orang yakni mereka yang mempunyai masalah ibarat orang yang sakit memerlukan obat serta mereka yang kuat akalnya, mantap agamanya, dan teguh imannya ibarat dokter yang mengobati orang sakit. 

Demikian batasan dari berfilsafat, agar tetap menjadi “orang yang berakal dan berfikir” dalam koridor Islam. Dosen UNIDA Gontor ini menutup kelas dengan pepatah Arab yang menjadi renungan. “Hamba tetaplah hamba, betapapun ia meninggi Tuhan tetaplah Tuhan, betapapun turunnya Ia (karena peduliNya pada hamba)”
Selasa, 19 Oktober 2021

Konsep Iri Gender

oleh Nismaryam 

Pertemuan 16 Sekolah Pemikiran Islam Jakarta angkatan 11 mengangkat tema Konsep Gender, yang dibawakan oleh Henri Shalahuddin, MIRKH sekaligus penulis Keserasian Gender dalam Islam.

Feminisme, lahir dari liberalisme dan sekularisme dibahas lebih dalam di perbedaan ini, melanjutkan tema-tema sebelumnya yang menjadi sebab tema ini berkembang. Enam puluh menit dengan penyampaian materi padat berisi relasi gender dan agama, prinsip keserasian gender, kesetaraan sempurna dan status perbedaan laki-laki dan perempuan dalam Islam, potret kampanye kesetaraan gender serta RUU P-KS dan kaitannya dengan gerak-gerak pegiat kesetaraan Gender. 

Relasi Gender, hubungan hierarki kekuasaan laki-laki dan perempuan dan bernafas persaingan. Peran wanita di setiap agama dalam perspektif gender. Sedang dalam Islam, prinsip keserasian gender tergambar bahwa Surga, ganjaran tertinggi didapat pemeluknya bukan berdasarkan jenis kelamin dan gender tapi berdasarkan taqwa, iman dan amal shaleh. Pun dengan kontribusi serta masalah sosial yang ada jadi tanggungjawab bersama, baik laki-laki maupun perempuan. Islam mengatur keduanya memiliki hak yang sama untuk mendapat pendidikan, mempertanggungjawabkan perbuatan serta kepemilikan harta dan transaksi secara mandiri. Sama-sama punya kecenderungan untuk menjadi taat atau menyimpang, bukan mempertanyakan entitas apakah perempuan itu? Apakah termasuk manusia?.

Perbedaan yang kentara antara Islam dari agama lain mendefinisikan perempuan. Adapun untuk status perbedaan dua jenis kelamin ini, dapat dikenali dari fisik juga sifat bawaan, yang bertujuan untuk saling melengkapi, memahami dan menghargai, karena adanya perbedaan itulah manusia bisa terus berlangsung kehidupannya dan tumbuh rasa kasih sayang di antaranya.”Laki-laki dan perempuan diciptakan to complete, not to compete each other” ujar dosen Universitas Darussalam ini. 

My body is mine, dengan ide dasar kebebasan mengelola tubuh muncul karena sebelumnya feminis barat punya trauma buruk atas perlakuan perempuan sebagai ‘properti’, bukan sebagai individu merdeka. Namun, makin ke sini ide kebebasan mengelola tubuh berubah untuk tujuan menikmati kesenangan seksual, propaganda seks dan tubuh perempuan jadi alat politis. Feminis menginginkan agar dapat mengontrol tubuh mereka tanpa campur tangan negara, di sisi lain juga menginginkan agar institusi keluarga dikontrol oleh mereka, hal kontradiktif yang diutarakan sekaligus. Kampanye kesetaraan gender ini juga marak disuarakan di berbagai daerah, karena dengan adanya sponsor lembaga luar negeri yang mendanai gerak dan kampanye mereka untuk terus menyuarakan ide ini dalam sistem legislasi Indonesia melalui RUU-PKS. 

Di saat negara lain terus berupaya menggagalkan ratifikasi CEDAW, Feminis Indonesia justru bergerak agar ratifikasi CEDAW segera terwujud. Gerak feminis lokal masih membebek dari feminis barat yang dapat dikenali dari narasi yang dibawakan, tidak disesuaikan dengan nilai-nilai dan problem di masyarakat. Dalam penyusunan RUU P-KS, feminis mempropagandakan bahwa melalui RUU ini akan melindungi perempuan, yang menjadi topeng legalisasi agenda feminis di Indonesia, paparan dari Dewan pendiri Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).
Minggu, 15 Agustus 2021

PLURALISME, PIJAKAN FLUID AKAR KERAGUAN

Oleh : Nismaryam 
 Perkuliahan telah sampai pada tengah semester genap Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Jakarta angkatan 11. Jadwal kelas di Rabu malam, 4 Agustus 2021 berlangsung antusias dengan materi dan diskusi membahas tema Pluralisme oleh Akmal. Kepala Sekolah SPI Pusat ini menjelaskan definisi, tren pluralisme, efek dan simpulan dalam perkualiahan ke-15 ini melalui presentasi di ruang maya.

Pemaparan materi Pluralisme dimulai dengan mengenal definisi pluralisme itu sendiri. Menurut kamus, pengertian pluralisme yaitu “Suatu sistem yang mengakui koeksistensi beragam kelompok dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kateristik di antara kelompok-kelompok tersebut”. Dalam konteks keindonesiaan, yang dibahas pluralisme kemudian adalah pluralisme agama.

Beberapa saduran dan ungkapan dari pegiat pluralisme agama, yakni tokoh-tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) menyatakan definisi pluralisme agama dalam pengertian yang beragam, hingga Suratno salah satu tokoh JIL pun menyatakan bahwa “realitasnya, definisi pluralisme agama sendiri sebenarnya tidak bersifat tunggal (monolitik) karena banyak para ahli yang memberikan definisi yang berbeda-beda terhadap pluralisme agama”. 

Sedang otoritas kebijakan terhadap muslim Indonesia, Majelis Ulama Indonesia memberi definisi pluralisme agama dengan “Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh karena itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah”. Dari definisi ini, didudukkan bahwa paham pluralisme agama terlarang untuk dimiliki muslim Indonesia, karena memandang semua agama adalah sama. 

Ragam dan fluid-nya pengertian pluralisme dari tokoh-tokoh yang menyuarakannya, membuat Anis Malik Thoha membuat studi pluralisme melalui tren yang berkembang. Tren pluralisme, yang dipaparkan kembali oleh Akmal yaitu Humanisme Sekuler, Teologi Global, Sinkretisme, Hikmah Abadi dan satu tambahan dari pemapar yaitu Teosofi – Freemansory. Tren pluralisme yang memandang semua agama sama memunculkan efek kelanjutan, yaitu terminasi. pluralisme formalistik dan ancaman HAM. Terminasi atau terpecah membuat seseorang menjadi ragu dengan agamanya sendiri. Pluralisme formalistik akan memunculkan keseragaman, kontradiktif dengan ide awal beragam atau di sisi lain akan munculnya agama-agama baru. 

Pluralisme yang menjadi simbol tenggang rasa beragama oleh JIL malah akan memungkinkan muncul “Ancaman HAM” untuk yang tidak sepaham dengan pluralisme agama, tenggang rasa yang dipaksa. Kandidat doktor sejarah Universitas Indonesia ini juga menegaskan bahwa “negasi tidak bisa menjadi definisi” seperti kilah tokoh JIL ketika dikonfirmasi definisi terma pluralisme agama pada mereka. Pluralisme agama tidak pula dapat dipandang secara simplistik lagi, namun sedikit mendalam karena masalahnya bukan taraf selera, tapi siapa tuhan kita.
Kamis, 12 Agustus 2021

Syi’ah dan Perbedaannya

Oleh : Nismaryam 

Uraian Ahmad Rofiqi, Lc. MPdI kembali diperdengarkan dalam SPI Jakarta Angkatan 11 pada Rabu malam, 28 Juli 2021 dalam temu daring. Dalam kesempatan ini, pengajar Muhammadiyah Islamic College, Singapura memberi tuturan tentang Sy'iah, tokoh dan sejarahnya. Penyimak dalam temu daring berjumlah 79 orang, dengan 2 sesi acara yaitu pemaparan dan tanya jawab. 

Syi'ah pada awalnya tidak mempunyai asosiasi apapun, selain arti katanya yaitu kelompok. Namun, setelah adanya kultus berlebihan terhadap Ali RA dan peristiwa karbala maka kata tersebut menjadi nama orang-orang mengaku Islam dengan mengkultuskan ahlul bait tertentu dan merendahkan sahabat. Lantaran sikap mereka yang merendahkan sahabat, maka sumber hukum Islam yaitu Al Qur'an dan Sunnah (Hadits) menjadi berbeda untuk Syi'ah. Dalam hadits banyak perawi dari sahabat dan istri nabi seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Aisyah binti Abu Bakar yang tidak digunakan Syi'ah padahal kandungan haditsnya menjadi pokok akidah Islam dan Ibadah. Atas alasan itulah, ketika masa tabi'in berlangsung, muncul sebutan Ahlussunnah wal Jama'ah atau Sunni, orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW untuk membedakan dengan Syi'ah karena berbeda secara rujukan hukum Islam.

Perbedaan mendasar lain antara Syi'ah dan Sunni adalah adanya imamah di Syi'ah. Imamah adalah kepemimpinan, sedangkan di Sunni menggunakan Khalifah. Imamah di Syi'ah ada 12 orang, pemimpin tersebut adalah ahlul bait dan keturunannya, namun beberapa riwayat menyatakan bahwa tokoh yang dirujuk berlepas diri dari kelompok Syi'ah ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat telah menetapkan fatwa bahwa Syi’ah termasuk aliran sesat dalam Islam, dan menerbitkan buku dan disebarkan secara gratis ke masyarakat untuk memahamkan tentang bahaya ini, MUI Jawa Timur juga menerbitkan buku serupa dan diamini oleh MUI Pusat atas kebenaran isinya.
Minggu, 08 Agustus 2021

Fitnah Kubro : Bijak Memahami dengan Ragam Referensi

Oleh : Nismaryam 

Tantangan umat Islam kembali dikupas di pertemuan ketiga Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Jakarta semester genap pada malam Rabu, 21 Juli 2021. Tema “Fitnah Kubro” diangkat dan diulas oleh Ahmad Rofiqi kepada 74 peserta di temu daring selama 2,5 jam. Kepada peserta diceritakan kisah, alur, serta poin-poin catatan yang patut untuk ditelisik kembali agar tidak mengikuti arus yang salah, dari referensi yang lemah. 

 Fitnah kubro adalah fitnah yang besar, dimaksudkan fitnah yang terjadi pada 2 waktu. Bagian pertama terjadi saat kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan RA dan yang kedua saat kepemimpinan khalidah Ali bin Abi Thalib RA. Anggota Forum Da’i Nusantara ini membuka pembelajaran dengan sebuah pengingat, bahwa dalam memandang fitnah kubro, tak cukup dengan aspek kesabaran, tapi juga dengan aspek ilmu dan didukung dengan petunjuk Allah. 

Kisah fitnah kubro (I) yang berkembang di pembelajaran Indonesia, merujuk pada Tarikh Ath Tabari. Kitab sejarah ini yang menggunakan data, namun disusupi dengan referensi dari Syiah dan mencitrakan Utsman sebagai sosok yang buruk. Menyikapi hal ini, pemateri berpesan agar dalam membaca, untuk mengetahui kebenaran sejarah sebenarnya maka cek pula karakteristik orang yang difitnah tersebut, Utsman sahabat Nabi dengan segala kelembutannya. 

 Kisah fitnah kubro (II) memuat kisah lahirnya syi’ah, kelompok khawarij dan murji’ah. Kelompok syi'ah punya pandangan yang menyimpang, kelompok yang ekstrem, mengkultuskan keluarga Nabi, namun sahabat Nabi sampai dikafirkan. Kelompok khawarij, mengkafirkan para sahabat dan orang yang mereka anggap kufur. Kelompok murji'ah, melihat segala sesuatu dengan menyepelekan serta menitikberatkan pada Allah Maha Pengasih, bagi mereka, iman, itu tidak naik dan tidak turun Fitnah Kubro, Fitnahnya tidak jelas namun persoalannya jelas, terbunuhnya Utsman RA dan Husein RA.

Menyikapi peristiwa fitnah kubro ini, perbanyak referensi dengan sumber yang jelas dan kuat. Sahabat yang melakukan ijtihad saat peristiwa tersebut adalah hal yang baik, karena ijtihad yang didasar nash, jika salah tidak berdosa. Memandang hal ini, pengajar Muhammadiyah Islamic College ini mengarahkan, umat dapat mengambil pelajaran untuk melihat hal yang terjadi masa kini, sahabat Rasul bukan bebas dari kesalahan, dari mereka berusaha mengambil jalan tengah dan memperbaiki kekeliruan.
Sabtu, 07 Agustus 2021

KEMBALI KE ASAL : SEBUAH DALIH NATIVISME

Oleh Nismaryam

Nativisme,tantangan dakwah Islam kekinian menjadi tema kedua dalam semester genap Sekolah Pemikiran Islam chapter Jakarta angkatan 11. Seperti biasa, Rabu 14 Juli 2021 pukul 19.00 dimulai pembelajaran di ruang maya. Doktor bidang Sejarah Universitas Indonesia, Tiar Anwar Bachtiar menjadi pengisi materi memandu 82 pencari ilmu pemikiran Islam. 

Dosen Universitas Ibnu Khaldun ini memaparkan bahwa Nativisme berasal dari kata native (Inggris) yang berarti asli, gerakan kembali pada yang asli. Pandangan ini bukanlah suatu yang berbahaya jika dalam ranah muamalah, namun ketika berkaitan ke ranah akidah, hal itu menjadi masalah. Tiar membawakan materi tanpa tampilan presentasi, namun pesan tetap dapat ditangkap melalui studi kasus dan kisah seperti contoh yang dibawakan tentang budaya Sunda dan Jawa “asli”. 

Pegiat nativisme modern menyuarakan agar masyarakan kembali ke budaya “asli” Indonesia, pada zaman pra Islam. Budaya berkembang dan dipengaruhi oleh falsafah yang datang, menuju perbaikan. Islam datang dan mewarnai budaya Indonesia diantaranya budaya Sunda dan Jawa menjadi lebih berakhlak dan berdasar, sehingga sampai saat ini jejak historisnya dapat kita telaah, tutur Peneliti INSISTS ini. 

Kembali ke “asli” dibalut dan dianggap menjadi sesuatu yang lebih baik, padahal merupakan sebuah dalih nativisme, selimut dari kampanye kesyirikan. Gerakan kebatinan, komunitas Rahayu, Kaharingan, Kesundan, Kejawen, Madrais, Badui Wiwitan adalah contoh nyata beberapa nativisme pernah berdenyut di Nusantara, dan di beberapa daerah masih eksis. 

Sebagai seorang muslim perlu disadari tentang mengapa Islam jadi pegangan hidup, karena Islam punya data historis, bisa ditelusuri dengan nalar logika dan punya epistemologinya. Karena jika ajaran tak memiliki epistemologi, seperti dalih nativisme lokal ini, “akan ngaco dan lama kelamaan akan menjauhkan dari agama” pengingat dari Tiar pada peserta. Pintu-pintu nativisme yang masih terbuka, seperti seni, konservasi lingkungan, dan kegiatan sosial lainnya perlu dijamah dan dijadikan medium dakwah, pesan Sejarawan Indonesia untuk jadi pekerjaan rumah dakwah selanjutnya.
Kamis, 05 Agustus 2021

Sekularisme, Kerancuan Fikir akibat Mutasi Akar Agama

Ruang maya malam Rabu, 7 Juli 2021 dipenuhi peserta Sekolah Pemikiran Islam Jakarta angkatan 11 untuk memulai semester genap. Pemanasan semester lanjut membahas fenomena yang jadi hegemoni umat kini, tentang Sekularisme yang dimotori oleh Kepala SPI Pusat, Akmal. 

Bahasan dibuka dengan materi kemudian diikuti tanya jawab serta pengumuman terkait penugasan. Penulis bergabung menyusul ke ruang materi, ketika tiba pada pembahasan "Mengapa Barat Memilih Sekuler?" dan tabiat sekularisme. Paparan dari pemilik laman maya malakmalakmal.com ini, menjelaskan bahwa pemikiran sekular kini bukan hanya menjangkit pada dunia Barat, namun juga di Timur, Indonesia telah terpapar. 

Pada mulanya, sekuler muncul atas problem sejarah kristen. Gereja dan pendeta adalah orang suci terpilih yang dapat mengampuni dan adanya tentara Inquissi dengan kekejamannya yang membuat masyarakat trauma, terbelah dan sulit menerima alpa dan kelirunya pendeta. Poin problem teks Bible juga berperan pada penyekatan antara agama dan sains di kehidupan umat Kristen sendiri. 

Untuk umat Islam dapat membaca buku "The Choice" dari Ahmad Deedat agar memahami lebih jelas. "Sekuler tidak mesti jadi Atheis, tapi membuat seseorang akan memikirkan Tuhan hanya di gereja, dan tidak lagi memikirkannya di luar gereja." Petikan tutur pemateri menjadi jembatan ke materi "Tiga Tabiat Sekularisme" Adanya manusia sadar mukjizat Alam tapi menolaknya jika dikaitkan sebagai ciptaan Tuhan, Politik jangan dicampurkan dengan agama, kebenaran dan nilai moral hari ini belum tentu jadi hal yang benar di hari esok adalah gambaran tabiat kerancuan fikir sekularisme. 

Kemunculan sekularisme yang bersumber dari kecacatan agama kristen harusnya tak dapat berjangkit pada umat Islam, selama umatnya mengenali dan mempraktekkan agamanya sendiri. Poin dari Akmal, yang disarikan dari tanya jawab peserta pukul 21.09.
Selasa, 13 Juli 2021

TEGAS BERFIKIR

 Oleh Nismaryam 

Pertemuan terakhir SPI Jakarta 11 berlangsung hari Rabu, 7 April 2021 malam secara daring. Tema yang diangkat adalah diskusi literasi yang diisi oleh Akmal, Kepala SPI Pusat.

Penutup semester ganjil ini diisi dengan membedah salah satu wawancara dari web islami.co. Pemateri memandu peserta untuk menyampaikan gagasan dan opininya terkait dengan pernyataan-pernyataan yang ada di diwawancara tersebut berlandaskan pada materi-materi yang sudah disampaikan pada 9 pertemuan sebelumnya. Ada beberapa hal yang kemudian disarikan, yakni tentang pentingnya kaidah, adab, dan kemauan untuk mengamalkan ilmu. Himpunan pendapat dan diskusi antara peserta serta pemandu adalah bahwa banyak pernyataan yang kontradiktif disebabkan dengan belum sepenuhnya memahami topik maupun frasa yang dipakai. Terdapat kebingungan atas maksud pemahman akan agama dan hakikat ibadah disebabkan karena latar belakang lingkungan yang berinteraksi dengan beragam agama namun bekal materi agama tak didapatkan dari sumber yang mumpuni. Lalu banyaknya pernyataan yang sesungguhnya menguatkan bahwa Narasumber wawancara membuat agama sendiri yakni ritual-ritual yang ia yakini dapat membuatnya terhubung pada tuhan.

 Beberapa poin penting yang dapat diambil yaitu dalam menyampaikan sebuah pendapat atau pandangan perlu diketahui latar belakang atau alasan penguat yang berdasarkan pada sesuatu yang pasti. Pernyataan seseorang menjadi lemah ketika mengatakan hal yang ia yakini salah atau benar tanpa mengetahui alasan di baliknya. Dalam menganalisa suatu pendapat, subjek dapat menggunakan metode kontradiksi atau hal yang bertentangan dengannya. Melalui metode ini, dapat diketahui apa yang sebenarnya komunikator maksudkan, tidak selalu menjawab namun menjadi jelas duduk perkaranya. Seseorang yang jelas pikirannya maka ia akan tegas dalam menyatakan suatu pernyataan tidak kontradiktif satu dan lainnya serta jelas prinsip yang ia pegang. Harapan kandidat Doktor Sejarah ini, bahwa siswa di SPI adalah siswa-siswa yang jelas pemikirannya dan dapat pula menguatkan orang lain untuk teguh memegang keyakinannya, sebagainya jalan perjuangan menegakkan Muslim Indonesia berakal.



Senin, 12 Juli 2021

Posisi Jahiliyyah Dunia


Oleh Nismaryam

Pertemuan ke-9 SPI Jakarta berlangsung secara daring, 31 Maret 2021. Tema Jahiliyyah diangkat sebagai pelengkap materi dasar SPI semester pertama yang dibawakan oleh Ahmad Rofiqi, Lc., M.Pd.I

Masyarakat Jahiliyyah adalah kondisi masyarakat sebelum datangnya penyempurnaan risalah Islam oleh Nabi Muhammad SAW di bumi Allah. Kondisi Jahiliyyah bukan hanya istilah untuk kondisi masyarakat Arab, namun ihwal dunia saat itu, juga di belahan bumi lain.

Lulusan Libya ini memaparkan sumber Jahiliyyah muncul pada diri dan masyarakat, yaitu asbab ketiadaan ilmu dan ketiaadan kelembutan. Ketiadaan Ilmu yang dimaksud adalah mengenai belum sampainya makna ilmu kepada seseorang dan pengingkaran ilmu dengan tak mengamalkan pengetahuan yang dimiliki. Kelembutan, adalah kekuatan. Dengan ketiadaan kelembutan, berarti nihilnya kontrol seseorang atas tindakannya tersebut. Maka ia kemudian jatuh pada kejahiliyahan.

Namun, terma Jahiliyyah ini tak boleh salah diposisikan, karena akan memperbesar salah penafsiran, terlalu kiri liberal, terlalu kanan ekstrim. Oleh karena hal tersebut, pemahaman Jahiliyyah perlu dikembalikan lagi pada sumber utama, yaitu Al Qur’an. Syeikh Yusuf Al Qardhawi, Cendekiawan muslim kontemporer memaparkan tentang 4 jenis jahiliyyah dalam Qur’an, yakni aqidah, hukum, akhlak dan sosial. Maka kerangka Jahiliyyah, perlu dikembalikan pada tempatnya, sesuai pada target dan tak bermudah-mudahan dalam memasukkan frasa Jahiliyyah pada kejadian sehari-hari, karena kekeliruan yang dipahami masyarakat, Jahiliyyah adalah sama dengan kekafiran. Tuntas Pembina Sadaqa ini, menggenapkan materi.


Kembalikan Jurnalisme pada Khittahnya

Oleh Nismaryam

Mengembalikan khittah jurnalistik di tengah biasnya jurnalisme, menjadi misi peserta Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Jakarta Angkatan 11. Jurnalistik Dasar adalah tema pertemuan ke-5 SPI, dilaksanakan Rabu, 3 Maret 2021 secara daring. Erwyn Kurniawan, S.IP sebagai pemateri, memaparkan dengan banyak contoh yang mudah dipraktekkan. Mengingat budaya SPI bernafaskan jurnalistik, reportase dan karya tulis adalah tugas bawaan tiap pertemuan.

Pimpinan Redaksi kantor berita Semesta ini menjelaskan poin-poin penting dari struktur dan jenis berita, pentingnya lead, efektifnya judul dan bagaimana menggiring pembaca dalam suatu berita. “Semakin banyak news value dalam satu berita, semakin bagus” pesan Jurnalis senior ini. 

Menanggapi realitas banyaknya berita clickbait atau yang hanya berorientasi traffic, dan mereduksi nilai. Presiden Reli Indonesia ini menguatkan peserta untuk terus mengusahakan karya jurnalistik yang bermutu, mengembalikan khittah jurnalistik pada tempat yang seharusnya. Walaupun mudahnya framing berita sekehendak elitis dikonsumsi masyarakat, masih ada ruang untuk berteriak menyuarakan berita sehat untuk akal masyarakat.

Pertanyaan silih berganti menjadi diskusi mendalam di ruang maya, mengayakan pemahaman peserta atas pentingnya berjuang lewat media. Melalui media, masyarakat melihat wajah dakwah, dan sebagai pemuda penggerak harus berperan agar dakwah rahmah ini tak jadi kerdil hanya karena ulah media tak bertanggungjawab. 

 


Minggu, 11 Juli 2021

Ghazwul Fikr : Lebih dari Konspirasi!

Oleh Nismaryam

Rabu, 17 Februari 2021 adalah malam dimana peserta Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Jakarta angkatan 11 memungut kembali kepingan kesadaran dari hiburan semu. Pertemuan via udara yang dihadiri 92 orang tersebut mengangkat tema bahasan “Ghazwul Fikr” oleh Akmal. Kelas ketiga ini cukup sensitif bagai mencocok hidung aktivis dakwah di kancah sosial.

Perang Pemikiran amat sering dikait-kaitkan dengan Teori Konspirasi, hingga 2 hal berbeda ini mispersepsi menjadi satu makna akibat seringnya diulas. Padahal Ghazwul Fikr itu lebih dari Teori Konspirasi. Ya, konspirasi itu ada, jelas mereka berstrategi untuk memadamkan cahaya Islam, masalahnya apa langkahmu menghadapinya ?

Penulis “Islam Liberal : Ideologi Delusional” ini mengingatkan tentang hadits yang harus sering diingat oleh penggerak Islam adalah tentang “Mengubah Kemungkaran” yaitu dengan tangan, lisan dan selemah-lemahnya iman dengan mengingkarinya di hati. Alih-alih menjadikan teori konspirasi ini sebagai premis untuk pengambilan kesimpulan “Zaman Terburuk” yang disematkan pada zaman ini. Hingga tak payah menyusun strategi dan merapatkan barisan membuat Gerakan yang lebih berdampak, karena konspirasi adalah bagian dari “takdir” Allah yang sudahlah biar terjadilah.

Jujur mengakui diri dan bergerak dalam strategi menjadi pesan Kepala SPI Pusat untuk muslim yang turut “butuh” untuk berdakwah. Jujur mengevaluasi langkah dan terus belajar mengembangkan potensi. Membaca modus-modus perang masa kini, yaitu modus media, pendidikan dan hiburan serta menelisik ke dalam kata-kata pop untuk mengupas worldview di baliknya.

“Ilmu adalah jalan menuju Allah, dan untuk memenangkan perang pemikiran ini hanyalah dengan berilmu” tutup Akmal menuntaskan materi ketiga kelas SPI Jakarta.



Sabtu, 10 Juli 2021

Memahami ke Dalam, Sudah Komprehensif Sedari Awal

Oleh : Nismaryam

Belajar lebih mengenal Allah, hari Rabu 24 Februari 2021 di SPI Jakarta. Pertemuan dalam jaringan kali ke-4 membuat lebih meyakini dan memahami diri sebagai muslim, melalui agama. 

Akmal sebagai pemateri menguliti golongan Ateis eksis di dunia dan akar masalahnya. Kepala SPI Pusat tersebut mengulas tentang kepercayaan sejarah yang berasal dari fiksi sastrawan dan diturunkan secara turun temurun melalui lisan. Fiksi berkembang dan masyarakat terjebak dalam kebingungan karena sejarah yang diada-adakan.

Adanya perbandingan konsep Tuhan yang lain menguak perbedaan mendasar dan secara sendirinya menjadikan Konsep Islam superior dibanding konsep Tuhan agama lain. Pernyataan-pernyataan populis seringnya mengecoh umat Islam, sisi negatifnya muslim blunder hingga kemungkinan terburuk menjauh, sisi positifnya menguji pemahaman kembali terhadap Islam itu sendiri. Perbedaan worldview yang dihasilkan menjadi logis karena perbedaan agama, 

Malam Kamis itu menjadi pengingat betapa sempurnanya Islam sedari awal, komprehensif dan tertata tanpa cacat. Kesemuanya berakar pada pemahaman pada Tuhan yang menciptakan manusia dan menjadikan dunia ini ada. Pemahaman yang secara jelas diturunkan oleh Tuhan sendiri tanpa tambahan penjelasan dari manusia, yang merupakan interpretasi.



Jumat, 09 Juli 2021

Muslim mindful dengan Islamic Worldview

 Oleh : Nismaryam

Pertemuan Sekolah Pemikiran Islam Jakarta angkatan 11, kembali digelar pada Rabu, 10 Februari 2021 secara daring. Pertemuan kedua dengan 85 peserta telah bergabung sepanjang pukul 19.00-21.30 WIB untuk membina kesadaran dengan topik bahasan Worldview of Islam. 

Materi Worldview of Islam (WOI) dibawakan oleh Wido Supraha, founder Sekolah Adab dan Wakil Sekretaris Komisi Ukhuwah MUI Pusat. Penyampaian materi dasar “Pandangan hidup Islam”, kenapa berislam dan bertahan dalam Islam dipaparkan secara mendalam dan saling berhubungan. 

Islam itu agama yang mindful. Dalam sejarahnya membuktikan, bahwa Islam sempurna sejak awal, dan menjawab hal-hal dasar secara jelas dan menentramkan hati. Pun, kaitannya dengan segala hal itu pasti ada nilai yang lekat dengannya, tidak ada hal yang "value free". Sehingga muslim hanya mengambil yang baik-baik saja dari segala hal karena ia cerdas dan sadar segala sesuatunya itu akan dipertanggungjawabkan, terlebih ketika Wido menceritakan tentang gagasan orang Barat dan praktek mereka dalam kehidupan sehari-hari, banyak yang bertentangan dan ada dari pemikiran mereka yang hanya 'ilusi'.

Penjelasan diperkaya dengan data dari dua sisi, dari sisi Islam serta pandangan kaum Atheis mempersepsikan hidup serta rekam jejak hidupnya dalam menerapkan pemikirannya. Adanya telaah tentang fenomena yang perlu diwaspadai muslim yaitu Corruption of Knowledge, Lost of Adab, Deislamization dan Confusion yang disertai contoh memudahkan peserta menangkap hikmah.  

Rangkaian sub bahasan ditutup dengan solusi yaitu kurikulum adab berdasarkan Al Qur’an, muslim dengan Islamic worldview yang bergerak dalam amal sholeh sebagai buah imannya. 



Kamis, 08 Juli 2021

Bergulirnya Tradisi Ilmu

Oleh Nismaryam


Sekolah Pemikiran Islam adalah sah lembaga pendidikan sebagai respon intelektual untuk menghadapi tantangan pemikiran yang mendera umat Muslim Indonesia masa kini. SPI Indonesia mempunyai beberapa cabang, dan yang tertua yaitu SPI Jakarta. SPI Jakarta kembali membuka kelasnya pada 2021 yakni SPI Jakarta angkatan 11. Kelasnya berjumlah 20 pertemuan yang