Copyright © the world of me..
Design by Dzignine
Selasa, 19 Oktober 2021

Konsep Iri Gender

oleh Nismaryam 

Pertemuan 16 Sekolah Pemikiran Islam Jakarta angkatan 11 mengangkat tema Konsep Gender, yang dibawakan oleh Henri Shalahuddin, MIRKH sekaligus penulis Keserasian Gender dalam Islam.

Feminisme, lahir dari liberalisme dan sekularisme dibahas lebih dalam di perbedaan ini, melanjutkan tema-tema sebelumnya yang menjadi sebab tema ini berkembang. Enam puluh menit dengan penyampaian materi padat berisi relasi gender dan agama, prinsip keserasian gender, kesetaraan sempurna dan status perbedaan laki-laki dan perempuan dalam Islam, potret kampanye kesetaraan gender serta RUU P-KS dan kaitannya dengan gerak-gerak pegiat kesetaraan Gender. 

Relasi Gender, hubungan hierarki kekuasaan laki-laki dan perempuan dan bernafas persaingan. Peran wanita di setiap agama dalam perspektif gender. Sedang dalam Islam, prinsip keserasian gender tergambar bahwa Surga, ganjaran tertinggi didapat pemeluknya bukan berdasarkan jenis kelamin dan gender tapi berdasarkan taqwa, iman dan amal shaleh. Pun dengan kontribusi serta masalah sosial yang ada jadi tanggungjawab bersama, baik laki-laki maupun perempuan. Islam mengatur keduanya memiliki hak yang sama untuk mendapat pendidikan, mempertanggungjawabkan perbuatan serta kepemilikan harta dan transaksi secara mandiri. Sama-sama punya kecenderungan untuk menjadi taat atau menyimpang, bukan mempertanyakan entitas apakah perempuan itu? Apakah termasuk manusia?.

Perbedaan yang kentara antara Islam dari agama lain mendefinisikan perempuan. Adapun untuk status perbedaan dua jenis kelamin ini, dapat dikenali dari fisik juga sifat bawaan, yang bertujuan untuk saling melengkapi, memahami dan menghargai, karena adanya perbedaan itulah manusia bisa terus berlangsung kehidupannya dan tumbuh rasa kasih sayang di antaranya.”Laki-laki dan perempuan diciptakan to complete, not to compete each other” ujar dosen Universitas Darussalam ini. 

My body is mine, dengan ide dasar kebebasan mengelola tubuh muncul karena sebelumnya feminis barat punya trauma buruk atas perlakuan perempuan sebagai ‘properti’, bukan sebagai individu merdeka. Namun, makin ke sini ide kebebasan mengelola tubuh berubah untuk tujuan menikmati kesenangan seksual, propaganda seks dan tubuh perempuan jadi alat politis. Feminis menginginkan agar dapat mengontrol tubuh mereka tanpa campur tangan negara, di sisi lain juga menginginkan agar institusi keluarga dikontrol oleh mereka, hal kontradiktif yang diutarakan sekaligus. Kampanye kesetaraan gender ini juga marak disuarakan di berbagai daerah, karena dengan adanya sponsor lembaga luar negeri yang mendanai gerak dan kampanye mereka untuk terus menyuarakan ide ini dalam sistem legislasi Indonesia melalui RUU-PKS. 

Di saat negara lain terus berupaya menggagalkan ratifikasi CEDAW, Feminis Indonesia justru bergerak agar ratifikasi CEDAW segera terwujud. Gerak feminis lokal masih membebek dari feminis barat yang dapat dikenali dari narasi yang dibawakan, tidak disesuaikan dengan nilai-nilai dan problem di masyarakat. Dalam penyusunan RUU P-KS, feminis mempropagandakan bahwa melalui RUU ini akan melindungi perempuan, yang menjadi topeng legalisasi agenda feminis di Indonesia, paparan dari Dewan pendiri Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI).