Oleh Nismaryam
"Tanah yang disana, cek lagi kemiringannya. Pondasi itu pastikan lurus dan kuat."
Kubenahi posisiku menjadi telentang melawan langit. Aah.. andai 10 tahun lagi hal itu terjadi, nyaman betul hidupku. Tersenyum menerawang, berangan-angan.
"Kapan? Kapan hal itu terjadi?" Bisik hatiku, membuat diri hempas kembali ke bumi. Lagi, bayang semu mengisi hari-hariku, mimpi di siang bolong. Pemimpi yang mimpinya berakhir berkalang tanah, siapa yang mau?
"Eh?" Pekikku lirih.
"Ada yang terbang bukan?" Sesuatu atau seseorang tepatnya, seukuran pemuda tanggung seakan terbang tinggi sepandanganku. Melayang cepat meninggalkan semilir.
"Ahh apasih, bukan bukan ah bukan, itu bukan apa-ap.." belum sempat kugenapkan kataku, seseorang kembali melayang rendah dihadapanku, entah tak tahu jantungku masih mampu berdetak atau tidak,
"Heeiiiiiiiiiii !!!"
Tak kuasa menutup mulut, kutemukan sosok diriku yang melayang mengembangkan senyum, siluet bayangnya persis menyelimutiku, itu.. aku?
Refleks kuraba muka, "hmm masih lengkap, Allah.. aku masih berpijak bukan?" Batinku, mencengkram tanah. Lengkap, aku masih di bumi yang sama dengan diri yang sama.
"HEI kau siapa? Itu tubuhkuu"
Bukannya menyahut, ia menarik tanganku cepat, melesat bertolak ke angkasa, kekuatan apa ini? Heran, kulirik ia, melesat ringan seakan gaya bumi tak berlaku untuknya.
Takjubku dengan yang hal baru saja terjadi, dan akalku yang masih mencoba merangkai petunjuk tentang semua ini, masih tak percaya dan aku yang mengingkari kehadirannya.
Ia, bak pinang dibelah dua denganku, entah dari berbagai sudut cara melihat. Rupa, suara, bahkan perilakunya adalah aku, hanya ada rasa berbeda, aura yang dimilikinya, asing kurasa.
~
Tak lagi kupersoalkan siapa dia dan bagaimana bisa dia bergerak sekehendaknya, tapi.. ini mau kemana? Batinku menggumam.
"Mau kemana kita?" akhirnya kulontarkan juga tanya, tanyaku yang dijawab arah telunjuknya mengacu pada suatu tempat. Hmm.. singkat, tanggapannya tak sehangat awal tadi bertemu.
"Kawasan dibalik perumahan baru?" Tanya tanya muncul menyesakkan. Ia melambatkan lajunya kala kami sampai di atas pemukiman tak terurus yang menyatu dengan gundukan sisa barang rumah tangga.
"Apa maksudmu membawaku kesini?" Tak jua ia berusaha membuka celah rahangnya, penat rasaku, mulai lelah dengan perjalanan yang tak kupahami muaranya kemana.
Makin erat genggamannya, kala kita melayang menuju bagian belakang sebuah sekolah.
Asing, berhias puntung rokok, bertebaran sobekan kain lusuh dan bercak darah. Hei ini bukan sekolahku, tak mungkin masa SMA ku, keluhku pada senyap. Menggaruk dinding mungkin lebih baik dibanding harus berjibaku dengan tanya tak berjawab.
"Kenapa? Ada apa dengan semua ini?" resah kuadukan. hening.
"Kau ada dimana saat ini terjadi?" menyerah juga akhirnya ia, tanya yang dijawab tanya. Tak apa, setidaknya ini membuatku merasa ada.
Terik siang begini di hari-hari biasa? "Aku di kelas, belajar".
"Kau yakin?"
Alis kiriku berjungkit, apa pula maumu hei?
"Bukannya kau hanya melamun"
"Tak salah, tak juga benar, aku hanya berusaha merasai yang sedang kulakukan, introspeksi bisa dibilang, salahkah?" Ceracauku tak jelas.
"Introspeksi atau hanya berangan-angan? Giliran hati yang ambil andil bertanya, ah sulitnya jujur, bahkan pada diri sendiri. Elakan yang kututurkan, pembelaan yang dipaksaan agar diri serasa yang paling realistis.
"Ya terus aku harus gimana? Aku udah ga peduli sama sekitarku, benerin diri sendiri aja ga bisa, gimana mau benerin yang lain?” Pembelaanku terlontar
“Buat jadi orang yang benerin orang lain itu ga kudu udah bener, sempurna. Sama kayak nasehat, bisa didapet dari mana aja, entah dari orang baik atau ga” ujarnya berusaha memahamkanku.
“Udahlah, aku itu sekarang lagi fase ngaca, ngaca sama hidupku yang terlalu sering buat salah, ga pantes buat merhatiin kesalahan orang lain.”
“Inget ibu ngomong apa? Orang yang ga cuma mikir diri sendiri, orang yang bantu orang lain walau saat ia lagi kesusahan, bakal ditolong sama Yang Di Atas, bisa juga kan bareng-bareng saling berbenah diri biar sama-sama jadi baik”
“Tapi, aku udah terlanjur kehilangan semua" tuturku pasrah.
“Kehilangan apa? Aku melihatmu baik-baik saja”
Hei diriku, ya, kau yang didepanku, tak mampukah kau memahamiku juga? “Waktu” jawabku ketus,
Waktuku selama ini yang terbuang sia-sia, kalah start untuk bisa memulai lembaran baru, masih ada lubang yang harus ditutup, setelah rata dengan tanah, baru bisa membangun rangkaian mimpiku disana, dan semua itu butuh waktu. Ah.. tak akan sampai waktuku.
“Apa kau sudah mati? kau masih diberi waktu untuk memperbaiki segalanya. Jawaban macam apa itu, ternyata kau memang sudah parah, putus asa akut pada hidup”
Mendidih rasanya ubun-ubunku, sok tahu sekali dia, pandai benar menilai orang hanya dari satu sisi kisahnya.
“Maumu apa? Apa maksudmu berkata seperti itu? Kau ini siapa sih?” tanyaku retoris, tak terima dengan perkataannya.
“Tak perlu kau tanya padaku, aku itu kamu, kamu itu aku”
Kesekian kalinya alisku bertaut, mencerna ucapannya yang tak kumengerti.
“Camkan, jika kau menyerah, maka habislah sudah” imbuhnya dengan penuh tekanan.
Sesak memenuhi rongga hatiku, entah, egoku lumpuh dan tak mampu lagi menyangkal atau meminta penjelasan dan, bahkan tak mampu untuk melihat matanya barang sedetik.
Tak terasa berapa lama aku terdiam sendiri, tertunduk berfikir.
“Jadi.. ” kataku menggantung, menyadari sesuatu yang janggal.
Kudongakkan kepala dan tak kutemukan siapa-siapa.
Bayangnya telah lenyap.
~
Mataku mengerjap, dan yang kutemukan hanya langit yang makin biru, bersih. Kompeni awan sudah singgah ke langit lain.
Ya, jadi sedari tadi aku hanya menggumam, dialog hatiku yang harus sering-sering diputar, didengar, dimaknai dan dijawab. Dijawab dengan jawaban yang jujur, jawaban untuk diri sendiri yang tak akan kuingkari.
“Hoahm..”
Kuregangkan tubuhku, berdiri, bangkit dari tidur siang yang melelahkan pikiran. Tidur siang? ya mungkin tidur panjang selama ini, tidur dengan tak peduli pada hidupku kini dan kelak, khawatir realita tak sesuai rencana.
Tapi, kini tak terlintas lagi ragu, takut, maupun putus asa. Jika aku menyerah, maka habislah sudah.
Kutarik nafas panjang dan tegas kuucap mantra.
“Oke, jadi ini waktuku, waktuku menjawab mimpi.”